Pengertian statistik dan statistika seringkali
dicampuradukkan, walaupun sebenarnya kedua istilah tersebut berbeda. Statistika
dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang digunakan untuk mengumpulkan,
mengorganisasikan, meringkas, menyajikan dan menganalisis data. Tujuannya
adalah untuk dapat diperoleh gambaran yang terperinci mengenai karakteristik
data itu sendiri sehingga berguna bagi penarikan kesimpulan. Sedangkan
statistik hanya merupakan hasil dari pada proses statistika. Statistik dipakai
untuk menyatakan kumpulan data, bilangan maupun non bilangan yang disusun dalam
tabel atau diagram, yang menggambarkan suatu persoalan.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka statistika dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu Statistika Deskriptif dan Statistika Induktif. Statistika deskriptif
merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu hasil
pengamatan (data) sehingga memberikan informasi yang berguna bagi pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap data dan informasi tersebut. Yang harus
mendapatkan perhatian dalam statistika deskriptif adalah hanya menyajikan atau
memberikan informasi dari data yang dimiliki (data dari sampel) dan bukan
memberikan kesimpulan apapun tentang data populasi. Penyampaian informasi yang
dimaksud dapat berupa diagram, grafik, gambar dan tabel. Sedangkan statistika induktif/statistika inferesia adalah
mencangkup metode yang berkaitan dengan analisis sebagian data (data dari
sampel) yang kemudian digunakan untuk melakukan peramalan atau penaksiran
kesimpulan (generalisasi) mengenai data secara keseluruhan (populasi).
Generalisasi tersebut mempunyai sifat “tidak pasti” karena hanya berdasarkan
pada data dari sampel. Oleh sebab itu, dalam statistika induktif harus didasari
dengan teori peluang.
Suatu
penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat keingintahuan manusia, merupakan
anugerah Allah SWT, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun
permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga
akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar. Pengetahuan baru yang
benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan
berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian
pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum,
yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan
penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah.
Untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan PenalaranInduktif.
Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa
umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu
kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali
dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu
harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya
dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif
tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran
induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil
pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru
yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari
penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak
harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari
pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala.
Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan
dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat
mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Kedua
penalaran tersebut di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah
merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya,
antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan
lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita
sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang
mengandaikan teori (Heru Nugroho; 2001: 69-70). Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama
dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang
menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan
penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang
disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi. Proses berpikir
refleksi ini diperkenalkan oleh John Dewey (Burhan Bungis: 2005; 19-20), yaitu
dengan langkah-langkah atau tahap-tahap sebagai berikut:
- The Felt Need, yaitu adanya suatu kebutuhan. Seorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaannya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
- The Problem, yaitu menetapkan masalah. Kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need di atas, selanjutnya diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan atau kebutuhan tersebut, yaitu apa sebenarnya yang sedang dialaminya, bagaimana bentuknya serta bagaimana pemecahannya.
- The Hypothesis, yaitu menyusun hipotesis. Pengalaman-pengalaman seseorang berguna untuk mencoba melakukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Paling tidak percobaan untuk memecahkan masalah mulai dilakukan sesuai dengan pengalaman yang relevan. Namun pada tahap ini kemampuan seseorang hanya sampai pada jawaban sementara terhadap pemecahan masalah tersebut, karena itu ia hanya mampu berteori dan berhipotesis.
- Collection of Data as Avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian. Tak cukup memecahkan masalah hanya dengan pengalaman atau dengan cara berteori menggunakan teori-teori, hukum-hukum yang ada. Permasalahan manusia dari waktu ke waktu telah berkembang dari sederhana menjadi sangat kompleks; kompleks gejala maupun penyebabnya. Karena itu pendekatan hipotesis dianggap tidak memadai, rasionalitas jawaban pada hipotesis mulai dipertanyakan. Masyarakat kemudian tidak puas dengan pengalaman-pengalaman orang lain, juga tidak puas dengan hukum-hukum dan teori-teori yang juga dibuat orang sebelumnya. Salah satu alternatif adalah membuktikan sendiri hipotesis yang dibuatnya itu. Ini berarti orang harus merekam data di lapangan dan mengujinya sendiri. Kemudian data-data itu dihubung-hubungkan satu dengan lainnya untuk menemukan kaitan satu sama lain, kegiatan ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis tersebut dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis, yaitu hipotesis yang dirumuskan tadi.
- Concluding Belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dibuatlah sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu diyakini mengandung kebenaran.
- General Value of The Conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum. Konstruksi dan isi kesimpulan pengujian hipotesis di atas, tidak saja berwujud teori, konsep dan metode yang hanya berlaku pada kasus tertentu – maksudnya kasus yang telah diuji hipotesisnya – tetapi juga kesimpulan dapat berlaku umum terhadap kasus yang lain di tempat lain dengan kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan tersebut untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Proses
maupun hasil berpikir refleksi di atas, kemudian menjadi popular pada berbagai
proses ilmiah atau proses ilmu pengetahuan. Kemudian, tahapan-tahapan dalam
berpikir refleksi ini dipatuhi secara ketat dan menjadi persyaratan dalam
menentukan bobot ilmiah dari proses tersebut. Apabila salah satu dari
langkah-langkah itu dilupakan atau dengan sengaja diabaikan, maka sebesar itu
pula nilai ilmiah telah dilupakan dalam proses berpikir ini.
0 komentar:
Posting Komentar